Jual Tanah Kavling Murah Sistem Syariah
100 m2 Harga dibawah 40 Juta
Bonus 2 Bibit Pohon Durian Musangking
Include SHM Selengkapnya KLIK
Disusun Oleh : Anwar Sihab
100 m2 Harga dibawah 40 Juta
Bonus 2 Bibit Pohon Durian Musangking
Include SHM Selengkapnya KLIK
Disusun Oleh : Anwar Sihab
Mahasiswa Stai Imam Syafi'I
Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, segala
perbuatan manusia baik itu prilaku maupun tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum dalam Qur'an dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum didalam keduanya akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui oleh jumhur
ulama yaitu Ijma dan Qiyas.
Hukum syari'at -atau biasa disebut
juga dengan hukum syara'- sangatlah penting untuk dipelajari, terlebih lagi
bagi orang yang sudah baligh (dewasa), karena hukum syara' adalah peraturan
dari Allah swt yang sifatnya mengikat bagi semua ummat Islam.
Jika kita berbicara tentang ushul
fiqih maka hukum syara' adalah inti atau puncak dari ilmu ushul fiqih. Karena
segala sesuatu yang dipelajari didalam ilmu ushul fiqih maka akan berlabuh pada
hukum syara’. Dengan kata lain, ilmu ushul fiqih merupakan alat untuk menemukan
hukum syara’ atau biasa disebut dengan hukum fiqih. Dengan mengetahui hukum
syara’, maka kita akan menjalankan kehidupan ini –terutama ibadah yang kita
kerjakan- sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah Swt, dan RasulNya.
Untuk itu, lewat makalah ini akan
dijelaskan tentang pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi serta sekilas
tentang hukum wadh’i yang menjadi bagiannya.
B. Tujuan Makalah
Setiap kegiatan pasti mempunyai
tujuan yang hendak dicapai, demikian juga yang dilakukan oleh penyusun dalam
pembuatan makalah ini. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah :
v
Memberikan penjelasan
tentang pengertian hukum syara’.
v
Mengetahui tentang
pembagian hukum syara’.
v
Memahami tentang pengertian
hukum taklifi.
v
Mengetahui serta memahami
tentang pembagian hukum taklifi.
B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam
makalah ini, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
v
Apa pengertian hukum
syara’?
v
Sebutkan pembagian hukum
syara’?
v
Apa pengertian hukum
taklifi?
v
Sebutkan pembagian hukum
taklifi beserta cabang-cabangnya?
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM SYARA'
A. Pengertian Hukum Syara'
Hukum syara' merupakan kata majemuk
yang berasal dari bahasa Arab yaitu “al-hukm asy-syar'i”, ini berarti kata
tersebut terdiri dari dua kata yaitu hukum dan syara'. Hukum secara etimologi
yaitu memutuskan atau mencegah. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata hukum mempunyai definisi peraturan yang dibuat oleh penguasa
(pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang disuatu masyarakat
(negara). Sedangkan pengertian hukum syara' secara singkat disebutkan sebagai
hukum Islam. Adapun kata syara secara etimologi ialah menuju aliran air,
sedangkan secara terminologi ialah jalan yang nyata dan terang yang
mengantarkan manusia kepada keselamatan dan kesuksesan di dunia dan
akhirat.
Namun secara terminologi ushul fiqih, yang dimaksud
dengan hukum syara' ialah :
“Khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf, baik dalam bentuk iqtidha (tuntuan), atau
takhyir (pilihan) dan atau dalam bentuk wadh'i (ketentuan yang ditetapkan)”.
Secara ringkas, uraian definisi
diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan khitab Allah
ialah kalam Allah, yaitu yang berwujud dalam bentuk ayat-ayat Al-qur'an. Dalam
konteks ini kalam Allah ada yang bersifat langsung dan adapula yang bersifat
tidak langsung. Yang bersifat langsung yaitu ayat-ayat Al-qur'an dan yang
bersifat tidak langsung yaitu hadits-hadits Rasulullah Saw. Hadits-hadits
Rasulullah Saw disebut juga sebagai kalam Allah secara tidak langsung
dikarenakan semua yang berasal dari Rasulullah Saw pada hakikatnya merupakan
wahyu Allah yang disampaikan kepada beliau, sebagaimana dijelaskan dalam firman
Allah Swt pada surah An-Najm ayat 3-4 :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu ( Al-qur'an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Melainkan
wahyu yang di wahyukan (kepadanya)”.
Namun selain ayat-ayat Al-qur'an dan
hadits-hadits Rasulullah Saw adapula yang dijadikan dalil untuk mengungkap
hukum syara' yaitu Ijma dan Qiyas, tetapi keduanya tetap saja bersandar pada
Al-qur'an dan hadits.
Sedangkan yang dimaksud dengan
perbuatan mukallaf ialah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa (baligh),
dan berakal sehat, termasuk perbuatan hati (niat) maupun perbuatan ucapan
(ghibah). Sebagaimana yang kita ketahui didalam Al-qur'an dan hadits banyak
berbicara tentang berbagai aspek yang sangat luas, baik itu sejarah, ilmu
pengetahuan, penciptaan alam semesta, dan lain-lain. Akan tetapi dengan adanya
penegasan kalimat diatas, maka yang dinamakan hukum menurut ushulliyin adalah
hanya terbatas pada ayat-ayat atau hadits-hadits yan berkaitan dengan
pengaturan perbuatan mukallaf saja, sedangkan ayat-ayat yang tidak berkaitan
dengan perbuatan mukallaf tidak termasuk dalam kategori hukum syara’. Ayat-ayat
seperti ini biasa disebut dengan istilah “ayat
al-ahkam dan hadits al-ahkam”.
Selanjutnya pada definisi hukum syara’ diatas
disebutkan pula “dalam bentuk tuntuan (iqtidha), atau pilihan (takhyir) atau
ketentuan yang ditetapkan (wadh’i). Adapun yang dimaksud dengan tuntuan ialah
perintah untuk mengerjakan sesuatu atau larangan untuk mngerjakan sesuatu.
Dengan demikian salah satu kriteria
ayat atau hadits hukum ialah terdapat makna perintah atau larangan. Sebagai
contoh ialah dalam surat Al-isra ayat 78 yang mengandung perintah mendirikan
shalat dan surat Al-isra ayat 32 yang berisi larangan mendekati zina.
Kriteria ayat dan hadits hukum
lainnya ialah didalamnya terkandung makna kebebasan memilih (takhyir), yaitu
kebebasan yang diberikan kepada mukallaf untuk memilih melakukan suatu
perbuatan atau meninggalkannya. Sebagai contoh terdapat pada surah Al-fath ayat
17, Allah swt berfirman :
“Tiada dosa
atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang yang pincang dan atas orang- orang yang sakit (apabila tiak ikut
berperang), dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya niscaya Allah akan memasukannya kalam surga yang
mengalir dibawahnya sungai- sungai,
dan barangsiapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.”
Jadi dalam hal ini mereka boleh memilih antara ikut
berjihad atau tidak ikut, karena didalam ayat tersebut terkandung makna
memilih.
Kriteria selanjutnya ialah jika
suatu ayat dan hadits mengandung ketentuan yang ditetapkan (wadh’i) yaitu
perbuatan mukallaf berkaitan dengan sebab (as-sabab) atau syarat (asy-syarth)
atau halangan (al-mani’) tertentu. Contoh kaitan perbuatan mukallaf denga suatu
sebab ialah perintah melaksanakan shalat zhuhur, Allah swt berfirman :
“Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampia gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh. Sesungguhnya
shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat”.
Dalam hal ini posisi matahari
melampaui titik kulminasi atasnya merupakan sebab wajibnya shalat zhuhur.
Demikian juga dengan terpenuhinya nisab harta merupakan sebab wajibnya
menunaikan zakat. Contoh lainnya, keadaan safar (bepergian) atau sakit
merupakan sebab bolehnya tidak berpuasa dibulan Ramadhan.
Sedangkan contoh perbuatan mukallaf
yang berkaitan syarth ialah, adanya persyaratan suci untuk sahnya
shalat. Sebagaimana dalam surah Al-maidah ayat 6 yang memerintahkan kita untuk
bersuci (wudhu) sebelum shalat. Dalam hal ini, suci dari najis dan hadas merupakan
syarat sahnya shalat yang dikerjakan seorang mukallaf.
Adapun contoh kaitannya dengan
halangan tertentu (al-mani') ialah, pembunuhan yang dilakukan ahli waris
terhadap pewarisnya merupakan penghalang terjadinya pewarisan diantara mereka.
Demikian juga dengan perbedaan agama merupakan penghalang terjadinya saling
mewarisi antara suami istri ataupun antara kerabat,meskipun terdapat sebab
saling mewarisi diantara mereka, yaitu perkawinan dan kekerabatan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa dikalangan ulama ushul fiqih ayat Al-qur'an dan hadits
Rasulullah Saw, dapat disebut hukum jika ia mengandung makna perintah dan
larangan untuk melakukan perbuatan, atau mengandung pilihan untuk melakukan
atau meninggalkan suatu perbuatan, atau mengadung makna hubungan perbuatan
mukallaf dengan suatu sebab, atau suatu syarat, atau suatu halangan tertentu.
B. Pembagian Hukum
Syara'
Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan definisi
hukum syara'. Dan dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud
dengan hukum syara' adalah firman Allah (termasuk hadits-hadits Nabi Saw) yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik dalam bentuk iqtidha (tuntutan/perintah untuk melakukan perbuatan, ataupun
larangan meniggalkan suatu perbuatan), ataupun takhyir (pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan), dan wadh'i (ketentuan syari'ah dalam bentuk penetapan suatu sebagai
sebab (sabab), syarat (syarth), dan halangan (mani') dari
suatu perbuatan tertentu. Berdasarkan hal itu, secara garis besar hukum syara'
dibagi kepada dua bagian yaitu : hukum taklifi dan hukum wadh'i.
Dibawah ini akan diberikan penjelasan tentang kedua hukum tersebut :
v Hukum Taklifi ialah Firman Allah
yang berbentuk thalab (tuntuan) dan takhyir (pilihan) atas suatu perbuatan.
Pada umumnya ulama ushul fiqih mendefinisikan sebagai berikut :
“Sesuatu yang mengandung perintah
untuk berbuat atau tidak berbuat ataupun untuk memilih antara berbuat
dan tidak berbuat suatu perbuatan”.
v
Sedangkan Hukum Wadh'i ialah firman Allah yang berbentuk wadh'i
(ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sabab
(sebab), syarth (sayarat) atau mani' (halangan) dari suatu ketetapan
hukum. Ulama ushul fiqih mendefinisikannya :
“Aturan
yang mengandung ketentuan bahwa sesuatu merupakan sebab bagi suatu yang lain,
atau menjadi syarat baginya, atau menjadi penghalang untuknya.”
Dari definisi diatas, kedua hukum tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan, atau memilih antara melaksanakan atau meninggalkan maka hukum wadh'i adalah yang menjelaskan tentang hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib bagi ummat muslim, maka hukum wadh'i menjelaskan bahwa terbenamnya matahari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat magrib.
BAB III
PEMBAHASAN
HUKUM TAKLIFI
A. Pengertian Hukum
Taklifi
Pada uraian tentang pembagian hukum syara' diatas
telah dijelaskan bahwa hukum taklifi mengambil hukum thalab (tuntutan) dan
takhyir (pilihan) atas suatu perbuatan. Seperti yang kita ketahui dari
pembahasan-pembahasan sebelumya bahwa tuntutan (thalab) yaitu suatu perintah
untuk melakukan suatu perbuatan atau perintah untuk meninggalkannya. Sedangkan
takhyir mengandung kebebasan memilih bagi mukallaf untuk berbuat atau tidak
berbuat suatu perbuatan. Jumhur ulama membagi hukum taklifi menjadi lima yang
mereka sebut dengan “ahkam al-taklifi al-khamsah”.
B. Pembagian Hukum Taklifi
Secara lebih terperinci, ahkam at-taklifi
al-khmasah (hukum taklifi yang lima) dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Al-wujub (wajib)
Al- wujub atau yang lebih dikenal dengan wajib yaitu
hukum yang berisfat mesti (harus) dilakukan. Pada umumnya ulama ushul fiqih
menjelaskan kata wajib secara etimologi berarti tetap. Sedangkan secara
terminologi ialah :
“Perbuatan yang dituntut Allah untuk
dilaksanakan oleh mukallaf dengan sifat mesti dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka
pelakunya diberi pahala, dan jika ditinggalkan maka
ia dikenakan dosa”
Hukum wajib ini dapat dibagi lagi
menjadi beberapa bagian, seperti hukum wajib di tinjau dari segi pelaksananya,
waktu pelaksanaannya, perbuatan yang diperintahkan, segi kadar kewajiban yang
diperintahkannya, dan dari segi tujuannya.
a)
Hukum di tinjau dari
segi pelaksananya
Ditinjau dari segi pelaksananya, maka wajib dibagi
menjadi dua, yaitu : al-wajib al-'aini dan al wajib al-kafa'i.
1. Al-wajib al-'aini
Adapun yang dimaksud dengan al-wajib
al'aini adalah : “Suatu yang dituntut
asy-Syar'i (Allah dan Rasul-Nya)
pelaksanaannya oleh setiap individu mukallaf”. Kewajiban 'aini bersifat individual tanpa membedakan antara
satu mukallaf dengan mukallaf yang lainnya. Contohnya ialah melaksanakan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan,
membayar zakat jika sudah memenuhi
persyaratan nishab dan haul, melaksanakan ibadah haji bagi yang memenuhi
syarat.
2. Al-wajib al-kafa’i
Yang dimaksud dengan wajib kafa’i
(kewajiban kolektif) ialah “Suatu
perbuatan yang dituntut asy-syar’i
pelaksanaannya oleh sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu mukallaf’.
Kewajiban ini bersifat kolektif.
Apabila beberapa orang dari sejumlah mukallaf telah melaksanakan kewajiban tersebut dengan sempurna maka
secara otomatis kewajiban itu tidak lagi
dituntut untuk dikerjakan oleh mukallaf lainnya. Tetapi apabila kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan oleh seorang
pun diantara mereka, maka setiap individu dari sekumpulan mukallaf tersebut menjadi berdosa. Contohnya
ialah sholat jenazah, memelihara anak yatim, melaksanakan
amar ma’ruf wa nahy munkar dan berperang fi sabilillah.
Dalam masalah ini meskipun wajib
kafa’i bersifat kolektif namun ia dapat berubah menjadi wajib ‘aini. Perubahan ini dapat terjadi apabila dalam
suatu lingkungan masyarakat hanya ada seorang
mukallaf yang mampu melaksanakan
kewajiban tersebut. Misalnaya, jika dalam suatu masyarakat hanya terdapat seorang yang mampu menjadi guru
atau menjadi pemimpin masyarakat, maka
orang tersebut secara individual wajib melaksanakan kewajiban sebagai guru atau pemimpin masyarakat tersebut.
Sebagai catatan, walaupun kewajiban
ini bersifat kolektif bukan berarti suatu kewajiban dipandang telah terlaksana jika sudah dilaksanakan oleh
sebagian mukallaf, akan tetapi pada hakikatnya
setiap individu dari suatu kelompok mukallaf bertanggun jawab melaksanakan kewajiban tersebut sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Dengan demikian sesungguhnya kewajian kafa’i menuntut partisipasi seluruh mukallaf, jangan
sampai ada suatu kelopok mukallaf
yang tidak peduli dengan alasan bahwa suatu kewajiban telah dilaksanakan oleh sebagian mukallaf.
b)
Wajib ditinjau dari
segi waktu pelaksanaannya
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wajib dapat dibagi
menjadi dua yaitu : al-wajib al-muthlaq
dan al-wajib al-mu’aqqat.
1. Al-wajib al-muthlaq
Yang dimaksud dengan al-wajib al-muthlaq ialah “Suatu kewajiban yang asy-syar’i tidak
mengkaitkan pelaksanaannya dengan waktu tertentu”. Dengan kata lain waktu
pelaksanaan kewajiban ini dapat ditangguhkan dan dilaksanakan kapan saja.
Misalnya, pembayaran kafarat sumpah. Demikian juga meng-qodho puasa Ramadhan
yang tidak terlaksana karena udzur, pembayarannya atau pelaksanaannya dapat
kapan saja waktu yang dianggapnya lapang, sesuai dengan mazhab Hanafi. Akan tetapi menurut
mazhab Syafi’i pelaksanaan qodho puasa ialah sebelum datangnya kewajiban puasa
Ramadhan berikutnya. Jika ditunda lagi, maka dikenakan denda fidyah berganda
2. Al-wajib al-mu’aqqat
Adapun yang dimaksud dengan wajib mu’aqqat ialah “Suatu kewajiban yang asy-syar’i mengaitkan
pelaksanaannya dengan waktu tertentu”. Karena kewajiban ini waktunya
tertentu, maka pelaksanaan kewajiban ini dianggap tidak sah apabila dilakukan
diluar waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini, wajib mu’aqqat terbagi
menjadi tiga bagian :
a. Al-wajib al-muwassa’
Yang dimaksud dengan wajib muwassa’ (waktu kewajiban
yang luas) ialah “Suatu kewajiaban yang waktu pelaksanaannya lebih
luas daripada ukuran waktu pelaksanaan perbuatan
yang diwajibkan”. Contohnya, waktu pelaksanaan shalat yang lima. Waktu shalat zhuhur misalnya, disamping dapat
dipergunakan untuk melaksanakan shalat zhuhur
itu sendiri, dapat pula dipergunakan untk melaksanakan shalat-shalat sunnah lainnya.
b. Al-wajib al-mudhayyaq
Yang dimaksud dengan al-wajib al-mudhayyaq (waktu
kewajiban yang sempit) ialah : “ Suatu kewajiban yang panjang waktunya sama
dengan waktu yang diperlukan untuk pelakanaan
perbuatan yang diwajibkan”. Karena waktu pelaksanaan kewajiban yang tersedia sama dengan waktu yang diperlukan
untuk pelaksanaan kewajiban itu sendiri, maka
disamping suatu kewajiban tidak dapat dilakukan diluar waktunya, pada waktu yang sama juga tidak dapat dilakukan
perbuatan yang sejenis. Contohnya ialah puasa bulan
Ramadhan, disamping tidak dapat dilakukan diluar bulan Ramadhan, maka pada bulan tersebut tidak dapat pula
dilaksanakan puasa-puasa lainnya.
c. Al-wajib dzu syabhain
Yang dimaksud dengan al-wajib dzu syabhain (waktu
kewajiban memiliki dua kemiripan)
ialah waktu pelaksanaan kewajiban yang ditinjau dari satu sisi bersifat muwassa’ (luas) tetapi jika ditinjau dari
sisi lain bersifat mudhayyaq (sempit). Misalnya pelaksanaan ibadah haji, ditinjau dari segi pelaksanaan
ibadah haji itu sendiri yang hanya
memerlukan waktu beberapa hari, waktunya disebut muwassa’ karena bulan haji ada beberapa bulan dalam setahun.
Akan tetapi ditinjau dari segi bahwa ibadah haji hanya dapat dilakukan sekali dalam satu tahun maka waktunya disebut
mudhayyaq.
c) Wajib ditinjau dari segi perbuatan yang diperintahkan
Dari segi perbuatan yang diperintahkan, wajib ini
dibagi menjadi dua bagian yaitu : al-wajib al- mu'ayyan
dan al-wajib al-mukhayyar.
1. Al-wajib al-mu'ayyan
Yaitu kewajiban tertentu atau “suatu
kewajiban yang asy-syar'i memerintahkan untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu”.
Artinya bahwa kewajiban ini tidak dapat digantikan dengan perbuatan lain. Contohnya
melaksanakan shalat lima waktu, kewajiban
ini bersifat tertentu dan spesifik. Jadi kewajiban ini tidak dipandang telah terlaksana dengan mengerjakan perbuatan
lainnya.
2. Al-wajib al-mukhayyar
Yaitu “Suatu kewajiban yang
asy-syar'i memerintahkan untuk melakukan salah satu dari beberapa perbuatan tertentu”. Dalam
kewajiban ini seorang mukallaf diberi alternatif untuk melaksanakannya. Contohnya membayar kafarat karena melanggar
sumpah, asy-syar'i menyediakan pilihan antara memberi makan sepuluh orang
miskin atau puasa tiga hari. Jadi, dengan
melaksanakan salah satu dari perbuatan
yang dipilih, maka seorang mukallaf telah membayar
kafarat sumpahnya dan
melaksanakan kewajiban yang diperintahkan.
d)
Wajib ditinjau dari
segi kadar kewajiban yang diperintahkan
Ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan,
maka kewajiban ini dibagi menjadi dua bagian,
yaitu al-wajib al-muhaddad
dan al-wajib ghair al-muhaddad.
1. Al-wajib al-muhaddad
Yaitu kewajiban yang bersifat
terbatas atau “suatu kewajiban yang asy-syar'i menentukan perbuatan mukallaf itu berdasarkan
kadar/ukuran tertentu”. Contohnya, membayar zakat al-mal (harta) atau
zakat fitrah, kewajiban ini mempunyai kadar tertentu yang jika belum sesuai
dengan syarat atau ketentuan, maka kewajiban tersebut belum terlaksana. Jadi,
seorang mukallaf baru dipandang
melaksanakan kewajiban zakat jika sesuai dengan kadar dan ketentuan yang sudah ditetapkan. Demikian juga dengan shalat, kewajiban
shalat ini baru akan dipandang terlaksana jika
sesuai dengan kadar/ukuran yang sudah
ditetapkan yaitu dengan memnuhi rukun-rukun dan syarat- syarat atau jumlah
raka'atnya.
2. Al-wajib ghair al-muhaddad
Yaitu kewajiban yang tidak terbatas
atau “suatu kewajiban yang asy-syar'i tidak menentukan ukuran/kadar kewajiban itu secara tertentu”. Contohnya
ialah kewajiban memberi nafkah kepada
kerabat/keluarga yang miskin seperti orangtua atau saudara dan lain-lain. Dalam
hal ini tidak ada ukuran/kadar yang tegas berapa nafkah
yang harus diberikan. Yang terpenting ialah nafkah
tersebut dapat memenuhi
kebutuhan keluarga yang miskin itu, dan tentunya sesuai dengan kemapuan
orang yang memberikan.
Berbeda halnya dengan kewajiban
memberi nafkah terhadap istri, sebagian ulama berpendapat
kewajiban suami memberi nafkah kepada
istri adalah muhaddad, dalam arti meskipun
tidak terdapat nash Al-qur'an
dan hadits yang menjelaskan batasan nafkah istri, tetapi hakim dapat menetapkan jumlah dan ukuran/kadar nafkah istri yang
menjadi kewajiban suami. Dalam hal ini, jika suami tidak membayar nafkah tersebut maka hakim
dapat memaksa suami untuk membayarnya.
Alasan kelompok ulama yang
berpendapat seperti ini ialah bahwa dalam hal
kewajiban haruslah mempunyai dasar yang tegas
dan pasti. Apabila seseorang dibebani sesuatu
kewajiban maka kewajiban tersebut haruslah terukur
dan jelas, agar seorang mukallaf dapat
melaksanakan kewajiban tersebut dengan sempurna.
Dengan kata lain suatu perbuatan dikatakan
wajib apabila terdapat kriteria dan batasan yang
jelas, jika suatu perbuatan yang diperintahkan
tidak memiliki kadar/ukuran yang jelas maka perbuatan
tersebut hanya merupakan anjuran
saja. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban seorang suami
member nafkah kepada istri termasuk kedalam kelopok al-wajib ghhair al- muhaddad, sama seperti kewajiban seseorang terhadap keluarga yang miskin.
2. An-nadb (mandub)
Secara etimologi mandub mempunyai arti sesuatu yang
dianjurkan karena ia bersifat penting. Sedangkan secara terminologi para ahli
ushul fiqih mendefinisikan dengan berbagai ungkapan, diantaranya :
Ø
Suatu perbuatan yang asy-syar’i menyerukan untuk melakukannya tetapi
tidak memestikan untuk melaksanakanya.
Ø
Suatu perbuatan yang asy-syar’i memberi pahala kepada pelakunya tetapi
tidak menimpakan dosa kepada orang yang tidak melakukannya.
Ø
Suatu perbuatan yang asy-syar’i memerintahkan untuk mengerjakannya
tetapi secara umum tidak mencela orang yang meninggalkan perintah itu.
Dari
ketiga definisi yang dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa mandub ialah :
“Suatu
yang asy-syari menganjurkan untuk melaksanakan perbuatan, apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan
tidak akan dicela dan tidak dikenakan dosa”.
Dalam
hal ini terdapat beberapa istilah untuk menunjukan pengertian yang sama dengan
makana mandub tetapi dengan tinjauan yang berbeda, yaitu:
Ø
Sunnah, disebut demikian karena perbuatan mandub tersebut sering
dilakukan oleh Nabi Saw.
Ø
Tathawwu, karena perbuatan mandub dikerjakan orang sebagai tanda
ketundukannya kepada perintah syara’.
Ø
Mustahab, karena yang mengerjakan perbuatan mandub disenangi oleh Allah
dan Rasul-Nya.
Ø
Nafal/nafilah, karenan perbuatan mandub dikerjakan sebagai nilai lebih
atau bonus kepatuhannya melaksanakan perbuatan yang wajib.
Ø
Ihsan, karena yang mengerjakannya menunjukan sikap baik menerima
aturan-aturan syara’.
Ø
Fadhilah, karena meninjau segi keutamaan orang yang mematuhi anjuran
syara’ tanpa paksaan.
Secara
garis besar mandub dibagi menjadi dua macam, yaitu : sunnah al-huda dan sunnah
az-zawaid.
a. Sunnah al-huda
Adapun yang dimaksud dengan sunan
al-huda ialah sunnah-sunnah petunjuk agama atau perbuatan-perbuatan yang
pelaksanaannya ditunjukan oleh Nabi Saw yang fungsinya sebagai kelengkapan dari
kewajiban-kewajiban agama. Sunnah al-huda dapat pula dibagi menjadi dua bagian
yaitu : sunnah mu’akkadah dan sunnah ghair al-mu’akkadah.
1.) Sunnah mu’akkadah
Adapun yang dimaksud dengan sunnah
al-mu’akkadah ialah sunnah yang sangat dianjurkan atau perbuatan-perbuatan yang senantiasa
dilaksanakan Rasulullah Saw, tetapi terdapat informasi
hadits yang menyatakan bahwa
perbuatan-perbuatan tersebut bukan termasuk perbuatan
yang fardhu atau wajib.
Contohnya ialah shalat berjama’ah, shalat dua hari raya (idul fitri dan idul adha), shalat witir, shalat dua raka’at sebelum shalat
subuh, adzan, dan iqamah. Meskipun
pelaksanaan dari sunnah ini tidak
merupaka kewjiban, tetapi sunnah ini sangat dianjurkan sehingga orang yang meninggalkan perbuatan sunnah ini dibenci dan
dianggap tercela oleh syara’. Oleh
karena itu, dari tingkatannya perbuatan
ini dikelompokan sebagai sunnah
mu’akkadah. Mengingat pentingnya sunnah ini, sebagian ulama Hanafiayyah bependapat
bahwa orang-orang yang meninggalkan perbuatan ini secara terus menerus mesti diperingati agar mereka melaksanakannya.
Apabila setelah diperingati mereka masih juga
belum mau melaksanakannya maka
mereka harus dipaksa untuk mengerjakannya bahkan mereka boleh diperangi. Alasannya ialah mereka yang meninggalkan
sunnah ini dianggap meringan-ringankan
syari’at agama.
2.) Sunnah ghair al-mu’akkadah
Adapun yang dimaksud dengan sunnah
ghair al-mu’akkadah ialah sunnah yang biasa atau perbuatan-perbuatan yang dikerjakkan Rasulullah Saw, tetapi
frekuensi perbuatan tersebut tidak bersifat
rutin dan hanya sesekali
dilakukan, sehingga bukan merupakan kebiasaan beliau. Contohnya ialah melaksanakan
shalat dua rakaat sebanyak dua kali sebelum dan sesudah shalat dzuhur dan puasa Senin dan Kamis. Pelaksanaan sunnah ini,
disamping hukumnya tidak wajib, meniggalkannya
juga tidak dipandang tercela dan
dibenci, sehingga orang yang meninggalkannya
tidak boleh dipaksa apalagi diperangi.
b.
Sunnah az-zawa’id
Adapun yang dimaksud dengan sunnah
az-zawa’id ialah sunnah-sunnah tambahan atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan
Nabi Saw yang selain tidak merupakan kewajiban, orang yang meninggalkannya
tidak pula dianggap tercela dan dibenci oleh syara’. Contonya ialah membaca
ayat-ayat yang panjang dalam pelaksanaan shalat, dan meniru cara berpakaian
juga cara makan dan minum. Demikian juga perbuatan-perbuatan yang lain yang
biasa dilakukan beliau dalam kehidupann sehari-hari sebagai manusia.
3. Al-hurmah (haram)
Yang
dimaksud dengan haram ialah suatu perbuatan yang asy-syar'i menuntut mukallaf
harus meninggalkan (melarang melakukannya) yang jika mukallaf menjauhi larangan
itu karena patuh kepada Allah, maka ia akan diberi pahala, sedangkan jika
melanggar larangan itu maka ia dinilai melakukan pendurhakaan kepada Allah
sehingga akan dikenai dosa dan ancaman siksa. Contohnya ialah menikahi
wanita-wanita yang menjadi mahram, sebagaimana ditegaskan Allah dalam surah
An-nisa ayat 23 ;
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara- saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki, anak- anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dan
istri yang telah kamu campuri”.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, haram dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu : al-muharram
lidzatihi dan al-muharram li
ghairihi.
a.
Al-muharram lidzatihi
Yang dimaksud dengan al-muharram
lidzatihi ialah sesuatu yang haram karena zatnya atau sesuatu yang sejak semula
dilarang asy-syar'i, karena didalamnya terkandung bahaya yang sangat besar
untuk kelestarian hidup manusia. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama
ditetapkannya syari'at adalah untuk melindungi dan memelihara kehidupan
manusia, baik itu agama, jiwa, akal, dan harta. Contoh haram lidzatihi yang
mengancam agama ialah haramnya murtad sebagaimana disebutkan pada surah
Al-baqarah ayat 217 :
“Barangsiapa yang murtad diantara
kamu dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya didunia dan diakhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”.
Contoh
haram lidzatihi yang mengancam jiwa ialah, sebagaimana terdapat dalam surah
al-isra ayat 31 :
“Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu, sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.
Contoh
haram lidzatihi yang mengancam akal ialah, sebagaimana terdapat dalam surah
al-Maidah : 90 :
“Hai orang-orang yang beriman
sesungguhnya meminum khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan- perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Contoh
haram lidzatihi yang mengancam harta ialah, sebagaimana yang tercantum pada
surah al-Baqarah ayat 188 :
“Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang
bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian daripada
harta benda oranglain itu dengan jalan berbuat dosa,
padahal kamu mengetahui”.
b.
Al-muharram lighairihi
Adapun yang dimaksud dengan haram
lighairihi adalah sesuatu yang haram karena yang lain atau ketentuan haram yang
bukan karena zatnya tetapi karena adanya faktor lain yang mengubah menjadi
haram. Contohnya ialah melakukan jual beli ketika adzan shalat jum'at sudah
berkumandang. Sebagaimana firman Allah swt pada surah al-Jumu'ah ayat 9 :
“Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui”.
Melakukan transaksi jual beli adalah
mubah, tetapi jika dilakukannya setelah adzan shalat jum'at, maka akan membawa
kelalaian melaksanakan shalat jum'at. Demikian juga haram melihat aurat wanita
yang bukan mahramnya, karena dapat menjerumuskan kita kepada haram lidzatihi
yaitu berbuat zina. Dan juga bergurau dengan menggunakan ayat-ayat Al-qur'an,
maka ini termasuk perbuatan yang haram karena perbuatan itu tanpa disadari akan
dapat membawa pada perbuatan murtad.
4. Al-karahah (makruh)
Dari segi etimologi, makruh berarti yang dibenci.
Sedangkan dari segi terminologi ialah suatu perbuatan yang asy-syar'i menuntut
mukallaf untuk meninggalkan perbuatan tersebut secara tidak mesti (menganjurkan
untuk meninggalkannya) yang jika mukallaf menjauhi larangan itu karena patuh
kepada Allah, maka ia akan diberi pahala, tetapi jika ia melanggar larangan itu
maka ia tidak dikenai dosa dan ancaman siksa.
Contohnya ialah berkumur-kumur dan
memasukan air ke hidung secara berlebihan ketika berpuasa, karena dikhawatirkan
akan tertelan sehingga membatalkan puasa. Demikian juga melambat-lambatkan
pelaksanaan shalat ashar sampai mendekati waktu shalat maghrib. Secara garis
besar, makruh dibagi menjadi dua bagian, yaitu : makruh tahrim dan makruh
tanzih.
a.
Makruh tahrim
Yang
dimaksud dengan makruh tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun
dasar hukumnya tidak pasti. Contohnya ialah larangan mengkhitbah wanita yang
sedang dalam khitbahan orang lain. Perbuatan ini dimakruhkan karena akan
menimbulkan sakit hati diantara orang yang mengkhitbah.
b. Makruh Tanzih
Yang dimaksud dengan makruh
tanzih ialah perbuatan yang terlarang, bila ditinggalkan
akan diberi pahala tetapi bila
dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Seperti memakan daging kuda
dan meminum susunya dikala sangat butuh diwaktu peperangan.
5. Al-ibahah
(mubah)
Dari segi etimologi mubah mempunyai arti melepaskan atau mengizinkan.
Sedangkan dari segi terminologi ialah perbuatan yang asy-syar’i memberikan
pilihan kepada mukallaf untuk melakukannya atau meninggalkannya, yang jika ia
melakukan salah satunya mak ia tidak diberi pahala dan tidak diancam dosa dan
siksa. Menurut sebagian ulama, hukum mubah lebih identik kepada halal atau jaiz
(boleh). Contoh perbuatan mubah adalah perbuatan makan, minum, dan berpakaian
yang halal.
Meskipun dikatakan bahwa mubah
adalah kebebasan untuk memilih berbuat atau tidak berbuat terhadap perbuatan
yang dinyatakan sebagai mubah, tetapi dalam kenyataannya kebebasan memilih
tersebut hanya merupakan hukum dasar dan tidak bersifat mutlak sama sekali.
Dengan kata lain bahwa mubah hanya berlaku untuk sebagian waktu, tempat,
siatuasi dan sebagian orang saja. Misalnya makan dan minum, meskipun hukum
dasarnya mubah sehingga orang bisa memilih antara makan dan tidak makan atau
minum dan tidak minum, akan tetapi seorang mukallaf tidak boleh meninggalkan
makan dan minum sepanjang waktu, karena hal itu akan membawanya pada kematian,
yang hukumnya menjadi haram. Demikian juga dengan bermian, hukumnya adalah
mubah, tetapi jika orang melakukannya sepanjang waktu sehingga melalaikan
kewajiban-kewajiban yang lain, maka perbuatan itu menjadi haram. Oleh karena
itu, hukum mubah dapat dibagi menjadi menjadi beberapa macam, diantaranya :
a. Mubah yg berfungsi untuk mengantarkan
seseorang kepada sesuatu hal yg wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah
sesuatu yg mubah, namun berfungsi untuk menggerakkan seseorang mengerjakan
kewajiban shalat dan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
b. Perbuatan mubah yang membawa kepada yang haram. Misalnya, bermain atau
mendengarkan musik, jika ini dilakukan secara terus menerus sehingga
menghabiskan waktu, maka hukumnya menjadi haram.
c. Perbuatan mubah yang membawa kepada hal yang mubah pula. Misalnya membeli
perabot rumah tangga untuk kepentingan kesenangan.
Jika diukur berdasarkan definisi
yang dikemukaan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa mubah adalah ketentuan hukum
yang bersifat netral, namun pada hakikatnya tidak. Karena setiap perbuatan,
baik aktif maupun pasif selalu diiringi dengan niat, maka perbuatan mubah akan
berubah menjadi wajib, mandub, haram dan juga makruh, ketika diiringi dengan
niat. Dengan kata lain, ketika suatu perbuatan mubah telah dihubungkan dengan
niat pelakunya, maka hukum mubah telah kehilangan esensinya
Dengan demikian pada hakikatnya
hukum mubah hanya ada dalam tataran teoritis, tetapi pada tataran praktis,
hukum suatu perbuatan hanya salah satu dari empat macam hukum yang lainnya,
yaitu wajib, mandub, haram dan makruh.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian hukum syara dan hukum taklifi
diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa :
ü Puncak atau inti dari ilmu ushul fiqih ialah hukum syara’.
ü Hukum syara adalah : “Kalam Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik
itu iqtidha (tuntutan), takhyir (pilihan), dan wadh’i (ketentuan yang
ditetapkan). Yang dimaksud dengan kalam Allah ialah dalil hukum yang besumber
dari Al-qur’an, sunnah, ijma serta qiyas. Sedangkan pebuatan mukallaf ialah
perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa (baligh), berakal sehat, termasuk
perbuatan hati serta ucapan. Dan yang dimaksud dengan iqtidha ialah tuntutan
atau perintah untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Takhyir ialah
memilih untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, dan wadh’i ialah
perbuatan yang berkaitan dengan sebab, syarat, dan halangan.
ü Hukum syara dibagi menjadi dua, yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum
taklifi ialah hukum yang mengandung perintah, larangan serta pilihan untuk melakukan
atau meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan hukum wadh’i ialah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan halangan.
ü Hukum taklifi dibagi menjadi lima bagian atau sering disebut dengan
“ahkam at-taklifi al-khomsah”, yaitu : al-wujub (wajib), an-nadb (mandub),
al-hurmah (haram), al-karahah (makruh) dan al-ibahah (mubah).
ü Wajib Secara etimologi berarti tetap atau pasti. Secara terminologi,
sesuatu yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh mukallaf,
jika dilaksanakan mendapat pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam
dengan dosa.
ü Mandub secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah,
suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi
pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak
melaksanakannya. Mandub atau nadb disebut juga sunnah, nafilah, mustahab,
tathawwu’, ihsan, dan fadhilah.
ü Haram secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara
istilah, sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, dimana orang yang
melanggarnya diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannyakarena menaati
Allah akan diberi pahala.
ü Makruh secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci. Secara istilah,
sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan
akan mendapat pujian dan pahala, dan jika dilanggar tidak berdosa. Namun
sebagian ulama berpendapat jika perbuatan makruh ini dikerjakan maka akan
dibenci oleh Allah swt.
ü Mubah secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan.
Secara istilah, sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat kepada mukallaf untuk
melakukan atau tidak, dan tidak ada hubungannya dengan dosa serta pahala. Namun
perbuatan mubah ini akan berubah menjadi hukum yang empat –diatas- jika diiringi dengan niat.
Demikianlah pembahasan tentang
pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi yang sangat sederhana ini. Untuk
menyempurnakan makalah ini kami berharap kritik dan saran yang membangun dari
semua peserta diskusi pada hari ini.
DAFTAR PUSTAKA
-
Ushul Fiqh, Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Penerbit
AMZAH
-
www.google.com
Pastikan membuat yang seperti ini lagi........!
ReplyDelete