Makalah Hukum Ijma'


Jual Tanah Kavling Murah Sistem Syariah
100 m2 Harga dibawah 40 Juta 
Bonus 2 Bibit Pohon Durian Musangking
Include SHM Selengkapnya KLIK


PENDAHULUAN

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

PERMASALAHAN
1.Pengertian Ijma’
2.Kedudukan Ijma’ Sebagai Hujjah
3.Syarat-syarat Ijma’
4.Macam-macam Ijma’
  

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).[1]
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur.
1. Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2. Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka.
Jadi, kalau mujtahid Makkah, Madihan, Irak, Hijaz saja umpamanya yang sepakat terhadap suatu hukum syara’ tidak dapat dikatakan ijma’ menurut syara’ kalau bersifat regional. Tetapi harus bertahap internasional. Masalah mungkin terjadi ijma’ atau tidak, lain lagi persoalannya, karena ada diantara ulama’ yang mengatakan mungkin dan ada pula yagn mengatakan tidak mungkin.
3. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
4. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.[2]

2.Kedudukan Ijma’ Sebagai Hujjah
Jumhur ulama berpendapat, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat qat’i (pasti) Artinya ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya, jumhur ulama menempatkan ijma sebagai sumber dan dalil hukum yang ketiga setelah Alqur’an dan sunnah. Menurut jumhur ulama, dalil ijma sebagai hujjah yang pasti, didasarkan atas alasan-alasan sebagai berikut.
a.       Alqur’an surah an-Nisa ayat 115




“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannaam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Jumhur ulama berpendapat, ancaman siksa yang terdapat pada ayat diatas, ditujukan kepada orang yang menentang Rasulullah SAW dan tidak mengikuti jalan orang mukmin. Ancaman siksa hanya ditujukan kepada orang yang melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Dalam pada itu, Ijma’ adalah mengikuti jalan orang-orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib.

b.      Firman Allah SWT pada surah al-Baqarah ayat 143


“Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.”

Kata al-Wasth (pertengahan) pada ayat diatas mengandung arti adil dan terpilih. Sedangkan kesepakatan yang lahir dari umat yang adil dan terpilih adalah al-haqq (kebenaran). Karena Ijma’ lahir dari umat islam yang adil dan terpilih tersebut, maka sesuatu yang dihasilkan ijma’ adalah kebenaran.[3]

3.Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1. Yang bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid.
Secara umum mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan mempu mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’, adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai syariah.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.[4]

3.Macam-macam Ijma’
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.[5]

PENUTUP
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’).


DAFTAR PUSTAKA


-Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, MA. Usul Fiqih. Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2010

-M.Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007

-Drs. Moh. Rifa’I . Usul Fiqih. Bandung : PT. Al Ma’arif 1973

-Prof. Dr. Rahmat Syafi’I. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia 2007







[1] Drs. Moh. Rifa’I. Usul Fiqih. Bandung 1973. Hal.128
[2]  M. Ali Hasan “Perbandingan Mazhab”, Jakarta 2002. Hal. 24-25
[3] DR. H. Abd. Rahman Dahlan, MA. “usul Fiqih”, Jakarta 2010, hal 148-149
[4] Prof. Dr. Rahmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih”. Bandung 2007, hal 70-71
[5] Prof.Dr. Rahmat Syafi’I, MA, “Ilmu Usul Fiqih”. Bandung 2007, hal 73

No comments:

Post a Comment