Makalah HUKUM WADH'I

Jual Tanah Kavling Murah Sistem Syariah
100 m2 Harga dibawah 40 Juta 
Bonus 2 Bibit Pohon Durian Musangking
Include SHM Selengkapnya KLIK


Disusun Oleh : Awang Setiawan

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) IMAM SYAFI’I
JAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN

Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci. Objek pembahasan Ushul Fiqih ialah dalil-dalil syara'. Hukum syar'i ialah Khithab pencipta syari'at yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan yang menjadikansesuatu sebagai sebab, syarat atau pengahalang bagi adanya sesuatu yang lain. Hukum syar'i dibagi kepada dua macam, yaitu Hukum taklifi, dan  Hukum Wad'i. Dalam makalah ini, saya akan membahas tentang Hukum Wadh’I dan pembagiannya.


BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Hukum Wadh’i

         Hukum wadh’I ialah, firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halanganb dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’I sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuka sebab(sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu huum taklifi. Atau dalam bentuk syarat (syarat), sehingga di mungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak terlaksana (mamnu’). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan hukum wadh’I pembahsan yangber kaitan dengan’azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhsah (keringanan). Ash-shihhah (sah) dan al-buthlan(batal) . Degan demikian, pembahasa tentang hukum wadh’iberkaiatan dengan tujuh hal utama yaitu, sabab, syarth, mani, azimah, rukhsah, ash-shihhah. Dan al-buthlan. Untuk jelasnya. Dibawah ini diuraikan secara lebih terperinci.[1]

a.    Sabab
         sebab (al_sabab) menurut Jumhur Ulama adalah : Sesuatu yang lahir dan jelas batas-batasnya , yang oleh Allah (al-syari, Pembuat hukum)) dijadikan sebagau tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan define ini, ada dua esensi yang terkandung didalamnya.
       Pertama suatu tidak sah dijadikan sebagai sabab kecuali Allah (Syari’) sendiri yang menjadikannya saebagai sebab. Karena hukum-taklifi merupakanpembebanan dari Allah SWT, maka yang membebani adalah Allah SWT. Dan jika yang membebani adalah penmbuat hukum (Syari), maka Dialah menjadikan sebab-sebab sebagai dasar hukum-hukumnya.
      


Kedua: bahwa sebab-sebab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi, akan tetapi meruapakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu. Dalam hal ini Asy-Syathiby mengatakan, bahwa “sebab” bukanlah  pelaku aktif denngan sendirinya, ia hanyalah menyertai terjadinya akibat (musabbab atau hukum), bukan yang menyebabkannya.[2]
        
Pembaagin sabab

1)Sabab hukum yang bukan pembuatan mukallaf
       Sabab yang merupakan membuatatan mukallaf ialah pembuatan mukallaf yang ditetapkan asy Syari sebagai pengenal/penanda adaaanya musabbab akibat dalam bentuk hukum syara.

2) Sabab hukum yang bukan merupakan pembuatan mukallaf
       Sebab hukum yang bukan pembuatan mukallaf ialah, sesuatu yang asy-Syari  menjadikannya sebagai penanda pengenal adanya hukum syara’, dalam bentuk sabab. Sedangkan ia bukan pembuatan mukallaf. Pada umumnya, sabab yang kedua ini merpaka fenomena alam yang dijadikan sebagai sabab bagi waktu-waktupelaksaan ibadah.[3]







b.   Asy-Syarth

1)     Pengertian Asy-Syarth

       Asy-Syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum. Adappun perbedaan antara syarat dengan sabab adalah :  bahwa ditemukan adanya (syarat)  itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu’ yang merupakan syaratnya shalat menentukan/ tidak mengakibatkan wajibnya shalat. Dan adanya dua orang saksi tidak menentukan /tidak  mengakibatkan adanya akad nikah, meskipun keadaannya dua orang saksi meruapakan syarat sanya akad nikah. Akan tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa adanya wudhu’, dan akad nikah menjadi tidak sah tanpa adanya dua orang saksi.[4]

2)    Pembagian syarth

a)     syarth asy-syar’iyyah
       Yang dimaksud dengan syarth asy-syar’iyyah ialah, syarth yang ditetapkan oleh asy syari(pembuat  hukum) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab, atau untuk memenuhi musabbab.

b)     Syarth ja’liyyah

         Adapun yang di maksud dengan Syarth ja’liyyah ialah, syarth yang ditetapkan oleh muhallaf  sebaga hubungan kausal yang diakui oleh syara memilki efek hukum syara’, Syarth bentuk kedua ini tidak boleh bertentangan engan hukum syara’ agar efek (akibat ; musabbab)-nya dapat diakui oleh asy-Syari sebagai hukum syara’. Contohnya , seorang suaami yang mengaitkan kejtuhan talaknya dengan suatu syarat, dengan mengatakan kepada istrinya: “jika engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka taakmu jatuh   satu”.

c. Al-Mani

1)   Pengetian al-Mani
       Al-Mani ( penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki  oleh sebab atau hukum. Oleh karena itu asy-Syathiby menganggapnya sebagai sebab yang merintangi ter hadap sebab yang meruapakan tanda ujudnya hukum, atau sebai sebab yang merintangi zat hukum. Karena asy-Asyathiby mendefinisikan mani’ sebagai : sebab yang metetapkan hukum lain karena adanya ‘illa yamg menafikan hikmahnya hukum.[5]

2)     Pembagian Al-Mani’
Sebagaimana halnya syarth, ulama ushul fiqih juga membagi mani’ dengan meninjaunya dari beberapa segi, tetapi tinjauan yang terpenting ialah penbagian mani ditinjau dari segi objeknya. Dalan hal ini, mani’ dibagi menjadi dua, yaitu :

A)    Mani’ yang menghalangi adanya hukum:
b)    Mani’ yang menghalangi adanya hubungan kausal sabab.

       Yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adannya hukum ialah, ketetapan asy-Syari’ yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang berlakunya hukum syara’ yang umum.
      
       Sebagai Contoh hukum Syara’ yang umunm menyatakan, wajib shalat bagi setiap mukallaf, baik laki-laki maupum wanita. Akan tetapi,syara’ juga menetapakan, haid dan nifas menjadi penghalang bagi wanita untuk dikenakan kewajiban meng-qadha’ shalt yang tidak dilaksanakan selama haid dan nifas.

       Adapun yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi hubungan kausal sabab ialah , ketetapan Asy-Syari’ yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang bagi lahirnya musabbab/akibat hukum dari suatu sabab syara’ yang berlaku umum. Sebagai Contoh, ketentuan syara’ yang umum menyatakan, jumlah harta yang mencapai kadar nishab dan telah dimiliki selama sestahun  (haul) merupakan sabab bagi kewajiban mengeluarkan zakat. Akan tetapi ketetapan syara’ juga menyatakan bahwa keadaan berhutang merupakan menghalang bagi seseorang untuk dikenakan kewajiban zakat.[6]

d.   Al-‘Azimah dan ar-rukhshah

1)     Pengertian Al-‘Azimah dan ar-rukhshah

         Al-‘Azimah dan ar-rukhshah adalah dua ketentuan yang oleh sebagian besar ulama ushul fiqih dimasukan kepada  kelompok pembahasan hukum wadh’I Alasan mereka. Pada hakikatnya ketentuan azimah berkaitan erat dengan keadaan yang normal yang menjadi sebab diberlakukannya hukum-hukum syara’ uyang  umum bagi mukallaf. Sementara kireteria rukhshah pada umumnya berkaitan ert dengan keadaan tertentu yang menjadi sebab berlakunya keringanan bagi mukallaf dalam melaksanakan huhum.
       Dalam pada hali itu, sebagian ulama menbicarakan ‘azimah dan rukhshah dalam kelompok hukum taklfi. Alasan mereka, pembicaraan ‘azimah dan rukhshah berkaitan langsung dengan cara penerapan hukum taklifi.
Bagaimanapun juga, penulis cenderung pada alasan ulama kelompok pertama, sehingga dalam uruusan ini, pembahasan ‘Azimah dan Rukhshah ditempatkan dalam hukum wadh’i.
       Kedua definisi tersebut diatas hanya berbeda dari segi redaksinya saja, namun maksudnya sama, bahwa yang dmaksuud dengan ‘azimah dan adalah, ketentuan syariat yang ditetapkan untukberlaku secara umum, dalam keadaan normal, bukan dalam keadaan dan situasi tertentu yang bersifat khusus, bagi seluruh mukallaf, bukan untuk mukallaf tertentu yang bersifat khusus.

2)     Pembagian ar-Rukhshah

a)    Berdasarkan segi bentuk hukum yang berlaku umum
       Ditinjau dari segi bentuk hukum yang berlaku umum, rukhshah dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut.
  (1)`Ar-rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menuurut ketentuan syariat yang umum diharamkan, karena darurat atau hajah.
  (2)Ar-rukhshah untuk meninggalkan perbuatan yang menurut aturan syariat yang umum diwajibkan, Karena kesulitan melaksanakannya.
b)    Berdasarkan segi bentuk rukhshah (keinginan)






e.   Ash-Shihhah, aaal-Buthlan, dan Al-Fasad
        
         Yang dimaksud dengan ash-shihhah ialah, suastu perbuatan yang telah memiliki sabab, memenuhi berbagai rukun dan perssyaratan syara’, Dan terdapat mani’ padanya.
Dalam pada itu, suatu sabab yang disebut suatu sah ialah, sabab yang menimbulkan musabab atau dampak hukum. Adapun yang dimaksud dengan Albuthlan(batal) ialah, kebalikan dari pengertian sah, yaitu, suatu perbuatan yang tidak memenuhi semua kireteria yang dituntut oleh syara’. Dan syarat-syarat ja’liyyah yang rusak (fasad) akan menjadikan sebab rusaknya akad pada pembagian keadaan. Sepeti halnya akad-akad maliyah (transaksi barang) menjadi rusak disebabkan rusaknya syarat pada saat tukar-menukar. Tapi dalam keadaan syarat-syarat yang rusak (fasad ) tidak menjadikan rusaknya suatu akad.


KESIMPULAN

Suatu hukum syara’ baru ada dan berlaku, apabila telah terpenuhi tiga unsur utama, yaitu: adanya sebab agar lahirnya hukum syara, terdaptnya semua syarth yang ditetapkan untuk berlakunya hukun syara’, dan tidak adanya mani’ pun yang menghalangi berlakunya hukum syara tersebut. Ketiga unsur tersebut menjadi   mutlak, mengingat bahwa suatu hukum syara, tidak mungkin ada dan berlaku jka tidak ada sabab yang melahirkan musabbab(akibat) hukum.Demikian juga, suatu hukum terkadang memilikki beberapa syarth,. Jika salah satu syarth tidak dipenuhi, maka belum juga menjadi tidak ada. Tidak kalah pentingnya  ialah, tidak terdapatnya mani’ yang ditetapkan untuk  berlakunya hukum tersebut.[7]


DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih
2. Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A


[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A
[2]Prof. Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih: hlm 70
[3] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A.
[4] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih: hlm75
[5] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih: hlm77-78
[6] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A
[7] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A

No comments:

Post a Comment