Jual Tanah Kavling Murah Sistem Syariah
100 m2 Harga dibawah 40 Juta
Bonus 2 Bibit Pohon Durian Musangking
Include SHM Selengkapnya KLIK
100 m2 Harga dibawah 40 Juta
Bonus 2 Bibit Pohon Durian Musangking
Include SHM Selengkapnya KLIK
Disusun Oleh : Awang Setiawan
SEJARAH
PENDIDIKAN PESANTREN DAN MADRASAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Suatu hal
yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok
Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia.
Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini.
Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok
Pesantren sebagai bahan kajian.
Pendidikan
Pondok Pesatren merupakan Lembaga Pendidikan Islam yang keunikannya serta
simbol – simbol yang dipergunakannya tidak akan pernah ditemukan di Lembaga
Islam mananapun didunia, sebuah lembaga pendidikan yang sama sekali berbeda
dari pakem induknya, yang denganya proses islamisasi jawa, tidak meneteskan
darah dalam upaya penyebaran ajaran agama, sebuah revolusi agama tanpa ada sama
sekali korban nyawa, agama yang pada awalnya ditolak mentah – mentah dipulau
jawa ini, dengan ketelitian dan penelitian mendalam oleh tokoh – tokoh islam
pada masa awal penyebaran ajaran islam di Indonesia telah mengantarkan pada
keberhasilan penyebaran islam di bumi jawa.[1]
Pondok
Pesatren merupakan Pusat Transformasi Ajaran Islam tertua di Indonesia dengan
sistem lingkungan pendidikan yang integral, menurut Agus Sunyoto ada dua hal
yang dilakukan sekaligus oleh Pondok Pesatren Sebagai Lembaga Pendidikan; (1)
Proses Pendidikan; dengan Pendidikan Pondok Pesatren melakukan Pembentukan
karakter dan, (2) Proses Pengajaran; dengan Proses Pengajaran Pondok Pesatren
melakukan pengembangan nalar.[2]
Abdurrahman Wahid menyamakannya dengan sistem yang dipergunakan Akademi Militer
dengan dicirikan pada adanya sebuah bangunan beranda yang disitu ada seseorang
dapat mengambil pengalaman secara integral, menurutnya ada tiga elemen yang
mampu membentuk Pondok Pesatren; (1) Pola Kepemimpinan pondok pesatren yang
mandiri tidak pernah terkooptasi oleh negara, (2) Kita – kitab rujukan umum
yang selalu digunakan dari berbagai abad dan, (3) Sistem nilai (Volue System)
yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas_Inilah yang menurut Abdurrahman
Wahid kemudian disebut ciri Pondok Pesatren sebagai Sub Kultur.[3]
Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren merupakan pola pendidikan integral
antara yang religius dengan Pendidikan sosial yang merupakan pusat pengembangan
ilmu yang bernafaskan islam dengan spesifikasi untuk mempertahankan ajaran al-sunnah
dengan mengembangkan kajian keilmuan melalui khazanah kitab kuning_yang
belakangan mengalami perkembangan sangat pesat tidak hanya pada khazanah kitab
kuning juga sudah merambah pada pendidikan umum, inilah yang membawa banyak
pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan
kajian
Di antara
sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena
“modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren
menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang
terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba
sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar
adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak
bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya
konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra
kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih
tetap dirasakan.
Dengan
demikian Pendidikan Pondok Pesantren perlu dibaca sebagai warisan sekaligus
kekayaan kebudayaan-intelektual Nusantara, lebih dari itu, dalam sejumlah aspek
tertentu, pesantren juga harus dipahami sebagai benteng pertahanan kebudayaan
itu sendiri karena peran sejarah yang dimainkanya.[4]
maka tidak heran kalau kemudian Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai Sub
Kultur disebabkan kemampuan untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup
masyarakat sekitarnya.[5]
B. Rumusan Masalah
- Pengertian Pondok Pesantren
b. Sejarah
Pondok Pesantren
- Pengertian Madrasah dan Sejarahnya
BAB II
PENDAHULUAN
A. Depinisi Pesantren
Pondok pesantern tumbuh sebagai perwujudan dari strategi umat islam untuk
mempertahankan eksistensinya terhadap pengaruh penjajahan barat atau sebagai
akibat dari adanya surau atau langgar dan masjid serta tempat
diselenggarakannya pendidikan agama yang tidak lagi menampung jumlah anak-anak
yang mengaji atau belajar agama. Disamping itu juga didorong oleh keinginan lebih menginfestasikan
pendidikan agama pada anak-anak. Maka sang guru atau pak kyai dengan bantuan
masyarakat memperluas banguna di sekitar suarau, langgar, atau masjid untuk
tempat mengaji sekaligus sebagai asrama bagi anak-anak yang belajar
mengaji tersebut. Dengan begitu anak-anak tak perlu bolak-balik pulang ke rumah
orang tuanya.anak-anak tinggal menetap bersama pak kyai di tempat tersebut.
Tempat mengaji seperti ini disebut pondok pesantren.
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an,
dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa Istilah pondok
berasal dari Bahasa Arab funduuq yang berarti penginapan, Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya
pesantren dipimpin oleh seorang Kyai Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk
seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya
disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan
keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat
meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pendapat
lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri.
Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa)
yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh
Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah
santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg
berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam
bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang
sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint
(manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata
pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Saat ini, istilah pesantren hanya dapay ditemui di daereah jawa. Sementara
di daerah lain seperti di Aceh, istilah pesantren dikenal dengan nama dayah,
di Padang dengan istilah surau.
Di aceh,
lembaga dayah telah berdiri sejak tahun 225 H./ 840 . pendirian lembaga
tersebut dimulai sejak islam dating pertama kali ke daerah ini.menurut
Ali hasjmy, Sultan Kerajaan Peurulak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
islam yang gurunya didatangkan dari Persia, arab, dan Gujarat.
Adapun
surau, pertama kali didirikan oleh Syaikh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman,
setelah ia kembali dari Aceh, diman ia belajar dengan syaikh Abdur Rauf
al-Singkeli. Taufik Abdulloh mencatat bahwa pengaruh ulakan bagi perkembangan
islam di Minangkabau cukup besar, sehingga dalam tradisi sejarah di kalangan
para ulama sering disnggap bahwa kota kecil ini adalah sumber penyebaran islam.
Lebih dari itu, pesantren di Jawa didirikan oleh Raden Fattah pada tahun
1475 di hutan glagah arum di sebelah selatan Jepara. Pesantren itu
mendapat kemajuan yang sangat pesat sehingga kota glagah arum yang kecil itu
juga ikut maju dan akhirnya berubah menjadi kabupaten, yakni bintara dan
Raden Fattah menjadi bupatinya. Dengan demikian, dugaan Martin van Bruinessen
yang mengatakan bahwa lembaga yang layak disebut pesantren belum berdiri
sebelum abad ke-18 masih perlu diteliti ulang.
Pesantren, sebagaimana disinggung di atas, merupakan lembaga pendidikan
islam yang hanya ditemui di Jawa. Suatu tempat disebut pesantren, jika di dalam
tempat tersebut terdapat beberapa unsur seperti:
1. Pondok
2. Masjid
3. Kitab-kitab yang diajarkan
4. Murid (santri) dan Pengajar (kyai)
Keempat unsur tersebut menjadi syarat mutlak bagi terwuujudnya pesantren.
Pondok adalah tempat untuk belajar dan menginap bagi santri, sedangkan masjid
adalah tempat sholat berjamaah lima waktu dan tempat belajar santri, adapun
santri merupakan penghuni pesantren setelah kyai. Ringkasnya, pesantren adalah
model “desa kecil” yang di dalamnya ada seperangkat aturan yang harus dipatuhi
oleh segenap penghuninya. Karena aturan-aturan tersebut telah mengakar,
terkadang tidak ditulis, namun menjadi hukum hidup (living law) yang tidak
boleh dilanggar sama sekali. Sang pemimpin (kyai) biasanya memimpin dengan
segenap kemampuannya dan menetap di dalam “desa kecil” itu.[6]
B.
Sejarah Pendidikan Pondok Pesantren
Tidak banyak
referensi yang menjelaskan tentang kapan tepatnya istilah pondok pesantren itu
mulai diperkenalkan masih ada banyak silang pendapat tentangnya sehingga kita
sulit untuk menentukan Pondok Pesantren mana yang pertama kali didirikan,
Menurut Abdurrahman Wahid, kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah satu
bentuk reaksi terhadap pola kehidupan tertentu, dan dengan demikian berdirinya
pesantren itu sendiri juga menjadi salah satu bagian dari tranformasi kultural
yang berjalan dalam jangka waktu panjang...[7]
menurut Wahjoetomo, model pesantren di pulau jawa mulai berdiri dan berkembang
bersamaan dengan zaman wali songo. Menurutnya pondok pesantren yang pertama
kali ada adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik
Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.[8]
Menurut Dr.
Suryadi Siregar DEA, ada dua pendapat mengenai asal usul Pesantren pertama ia
menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat.
Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi
kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia
pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini
ditandai oleh terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan
amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut Kiai itu
mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari dalam
satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat dalam sebuah
masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk keperluan
suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan
tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan
amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuaan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh
pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan
selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga
Pesantren. Kedua pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan
pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di
Nusantara.[9]
Pendapat kedua ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Agus Sunyoto dalam
sebuah Work Shope Kaum Muda Nahdhatul Ulama yang diselenggarakan di Kediri pada
tanggal 25 September 2005 (Sejarah Pendidikan Pesantren dan bagaimana Nalar
Barat menghabisi Dunia Pesantren).
Dengan
sangat rinci Agus Sunyoto menjelaskan tentang latar belakang proses munculnya
Pendidikan Pondok Pesantren, bahwa keberadaan Pondok Pesatren tidak lepas dari
pengaruh masuknya ajaran agama Islam ke Indonesia dan merupak anti tesis dari
penolakan – penolakan penduduk lokal jawa terhadap ajaran Islam_yang semula
merupakan pusat keagamaan Hindu-Bhuda,
Menurutnya
orang – orang Islam masuk ke Indonesia sekitar tahun 670 M. pada masa kholifah
Ali Bin Abi Tholib, orang – orang Islam ini berasal dari Negri Yaman yang sama
sekali tidak mendapat sambutan dari penduduk lokal karena pengaruh asumsi
bahasa_karna kebiasaan para bangsawan arab memakai gelar Yamani, sedangka kata
Yamani dalam Bahasa Jawa Kuno adalah tempatnya dewa yama pencabut nyawa
yang ada di neraka jadi Yamani adalah Neraka. Pada abad 9 M. Juga ada
perpindahan suku – suku di negri persia menuju kenegri jawa, yang juga tidak
ada sambutan dari penduduk lokal, kemudian 1386 M. terjadi imigrasi besaran –
besaran penduduk muslim Cina ke selatan[10]
Ini dapat
dilihat dari penjelasan Marcopolo ketika singgah dipelabuhan Perlak pada abad
12 M ia menjelaskan bahwa waktu itu penduduk kota perlak ada tiga kelompok
Pribumi penyembah berhala, penduduk Cina Muslim dan Arab Muslim, dan juga bisa
dilihat dari catatan H. Ma’huan salah
seorang juru tulis Laksama Cheng Ho yang masuk ke Aceh pada tahun 1405 M.
Ia menyebutkan ada tiga kelopok penduduk,
sama seperti pernyataan marcopolo dan ia menyebutkan Laksamana Cheng Ho pernah
berlabuh dipelabuhan tuban dalam catatan perjalannya dituliskan bahwa peduduk
disekitar pelabuhan tuban mayoritas Cina Muslim, [11]
Baru pada
tahun 1440 M. Raden Rahmat (Sunan Ampel) pindah dari Negeri campa menuju jawa,
waktu itu penduduk lokal sama sekali belum mau menerima Ajaran Islam. Kemudian
Raden Rahmat pindah ke ngampel delta mendirikan padepokan untuk dijadikan pusat
belajar agama islam, wilayah ini kemudian dikenal dengan sebutan Padepokan
Ampel Delta. [12]
Menurut
Slamet Muljana (2005:48) yang dikutip dari Serat Kanda dalam Pararaton,
terbitan Dr. J. Brandes, Raden Sayid Rahmat[13][14] (Sunan Ampel) datang dari Campa
menuju Jawa untuk menemui saudara ibunya Putri Dwarawati, istri dari
Angkawijaya (Raja Majapahit), Raden Sayid Rahmad diterima baik oleh Prabu
Angkawijaya yang kemudian diizinkan menetap di Daerah Ngampel.
Setelah
Sunan Ngampel baru kemudian Datuk Saleh dan Datuk Kahfi datang dari daratan
cina menuju tanah jawa, kemudian menetap di Cerebon mendiami daerah Giri
Amparan Jati mendirikan sebuah padepokan yang kemudian juga dikenal dengan
sebutan padepokan Giri Amparan Jati pada saat itu penduduk lokal jawa mayoritas
masih menganut agama Hindu-Budha, dan anggapan bahwa agama Islam adalah
agamanya para pembesar kerajaan, karna disinyalir waktu itu para pembesar
kerajaan telah memeluk agama Islam.[14]
Dalam perkembangannya Padepokan Giri Amparan Jati berkembang pesat
menjadi ratusan murid yang berasal dari daerah dermayu, tegal, semarang, dan
demak.
Berangkat
dari penolakan inilah kemudian para wali mulai berfikir, bagaimana agar ajaran
islam ini bisa diterima seluruh penduduk jawa, lalu dilakukan penelitian
tentang bagaimana cara supaya ajaran islam bisa diterima tanpa harus ada darah
yang mengalir dalam proses islamisasi yang akan dilakukan nanti_menurut Agus
Sunyoto orang yang banyak meneliti tentang kultur masyarakat jawa waktu itu
adalah syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar).
Nama Pondok
Pesantren sebenarnya di cetuskan dalam sebuah musyawarah dewan guru yang
dibentuk ketika syaikh Datuk Kahfi (Sunan giri 1) mangkat, dewan guru tersebut
adalah Syaikh Abdul Jalil, Syaikh Ibrahim Akbar, K Gedeng Pasambangan, Ki
Gedeng Babatan, Ki Gedeng Surantaka, Haji Musa bin Hasanuddin, Syaikh Jurugem
bin Hasanuddin, Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatulla, Raden
Sahid, dan Raden Qosim. kemudian forum musyawarah ini mempercayakan atau
mengangkat Raden Syarif Hidayatullah sebagai ketua dewan guru atau pengasuh
dari padepokan giri amparan jati. Dan dalam sidang yang sama kemudian Syarif
Hidatullah mengusulkan agar nama padepokan di rubah menjadi pondok yang
kemudian atas usul raden sahid nama pondok di tambah dengan pesantren untuk
membedakan padepokan tempat orang hindu belajar agamanya dengan orang islam
yang mencari ilmu.[15]
Terlepas
benar dan tidaknya semua pemaparan yang ada di atas, pembaharuan yang dilakukan
oleh para penyiar islam pada masa itu dapat dilihat dari berbagai budaya yang
teraplikasi dalam ajaran Islam jawa pada hari ini, tidak terdapat dalam ajaran
Islam yang ada dimanapun, hal ini dapat dilihat bagaimana sebuah transformasi
budaya Islam terhadap budaya Hindu-Budha telah terjadi dalam sebuah pembaharuan
budaya, apa yang dilakukan oleh para penyiar Islam masa itu suatu langkah yang
sangat tepat karna menurut Cillford Geertz yang dikutip dari Ward Goodenough;
kebudayaan ditempatkan dalam pikiran–pikiran dan hati manusia, jadi suatu
kebudayaan masyarakat terdiri dari apa saja yang harus diketahui dan dipercayai
seseorang supaya dapat berjalan dengan
suatu cara yang dapat diterima oleh anggota-anggotanya.[16] Tidak heran kalau kemudian
proses islamisasi yang dilakukan oleh para wali waktu itu perkembangan sangat
cepat, karna memang apa yang silakukan oleh para da’i islam waktu itu memang
masuk dalah roh budaya penduduk lokal.
C. Madrasah
Madrasah
adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk
belajar. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai
lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan. Adapun sekolah sering dipahami
sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan pada umumnya.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh
negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di dalamnya
terdapat komunitas masyarakat Islam.[17]
Istilah
madrasah pada masa klasik berbeda pada masa sekarang. Pada masa klasik madrasah
disamakan dengan Universitas, namun pada masa sekarang adalah fenomena baru
dari lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang kehadirannya pada awal abad
ke-20. Lembaga pendidikan madrasah, sejak tumbuhnya merupakan lembaga
pendidikan yang mandiri, tanpa bantuan atau bimbingan dari pemerintah kolonial
belanda. Setelah Indonesia merdeka barulah madrasah dan pesantren mulai
mendapat perhatian dari pemerintah. Dalam hal ini pembinaan dan tuntunan,
wewenang diserahkan ke Departemen Agama.[18]
Kementrian
Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor I tahun 1952. Menurut
ketetapan ini yang di namakan madrasah ialah tempat pendidikan yang telah
diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam
islam menjadi pokok pelajaran.
Jadi menurut
saya dari beberapa pengertian di atas, dapat saya simpulkan bahwa madrasah
adalah wadah atau tempat yang diatur untuk belajar ilmu pengetahuan agama islam
yang paling utama dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya. Sebelum Indonesia
merdeka madrasah sebagai lembaga pendidikan islam merupakan lembaga pendidikan
yang mandiri, setelah Indonesia merdeka barulah mendapatkan perhatian
pemerintah. Dalam pengembangannya madrasah berada dalam naungan Departemen
Agama.
Sebagian
ahli sejarah berpendapat, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui Perdana Menteri Bani
Saljuk yang bernama Nidzam al-Muluk, melalui Madrasah Nidzamiah yang
didirikannya pada tahun 1065 M.[19]Selanjutnya,
Gibb dan Kramers menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam
al-Mulk adalah Shalah al-Din al-Ayyubi.[20] Kehadiran
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar
belakang, yaitu:[21]
a.
Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam
b.
Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistempendidikan
yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperolehkesempatan yang sama dengan
sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah
c.
Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang
terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
d.
Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang
dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari
hasilakulturasi.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Agama Nomor I tahun 1952. Jenjang pendidikan madrasah
tersusun sebagai berikut:[22]
a. Madrasah
rendah atau sekarang lazim dikenal sebagai Madrasah Ibtidaiyah, ialah madrasah
yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam yang menjadi pokok
pelajarannya, lama pendidikan 6 tahun.
b.
Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (Madrasah Tsanawiyah) ialah madrasah yang
menerima murid-murid tamatan madrasah rendah atau sederajat dengan itu, serta
memberikan pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok
pengajarannya, lama pendidikan 3 tahun.
c.
Madrasah Lanjutan Atas (Madrasah Aliyah) ialah madrasah yang menerima
murid-murid tamatan madrasah lanjutan pertama atau yang sederajat memberikan
pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama
belajar 3 tahun.
Pada tahun
1975, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri antara Menteri Dalam
Negeri, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tentang
peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Hal ini dilatar belakangi bahwa
siswa-siswa madrasah sebagaimana halnya tiap-tiap warga negara Indonesia berhak
memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah,
yang menghendaki melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat
sekolah dasar sampai perguruan tinggi.[23]
Adapun SKB 3
Menteri tersebut menetapkan:[24] a.
Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah
umum yang setingkat.
b.
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
c.
Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Berdasarkan
uraian-uraian diatas dapat saya simpulkan bahwa madrasah sebagai lembaga
pendidikan yang menengahi anatara pesantren dan pendidikan modern. Dan
berdasarkan peraturan pemerintah, madrasah terbagi menjadi 3 yaitu: Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Kemudian pembinaan dan
pengembangan madrasah tetap dilaksanakan semenjak munculnya istilah madrasah
sampai lahirnya SKB 3 Menteri, di mana madrasah dipersamakan atau disetarakan
dengan sekolah umum, yang dalam hal ini adalah sekolah negeri umum yang berada
di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sederajat. Dan
demikian jelasnya bahwa pemerintah tetap memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan madrasah di Indonesia.
Adapun
sarana yang ada dimadrasah sama halnya dengan di pesantren hanya perbedaannya,
jika di PONPES ada pondok/asrama sebagai tempat tinggal, kiayi dan kitab-kitab
kuning/klasik sedangkan di madrasah tidak ada, dan dimadrasah sistem pembelajarannya
di kelas. Maka diperlukan adanya fasilitas ruangan, seperti meja, kursi, papan
tulis dan lain-lain.
Adapun struktur program kurikulum
madrasah Aliyah tahun 1984, pendidikan agama terdiri dari mata pelajaran:
a. Qur’an
Hadits
b. Akidah
Akhlak
c. Fikih
d. Sejarah dan
Peradaban Islam
e. Bahasa Arab,
semua program ini di golongkan kepada program inti.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat saya simpulkan bahwa suatu pendidikan tidak
akan lepas dari lembaga-lembaga yang menaunginya, oleh karena itu pendidikan
islam khususnya pada masa tradisional sudah menunjukan adanya lembaga-lembaga
tersebut di antaranya yaitu: pesantren dan madrasah.
Pesantren merupakan lembaga tertua di Indonesia sebagai lembaga
pendidikan. Biasanya pesantren itu sebuah komplek yang terpisah dari komplek
atau perumahan di sekitarnya. Dalam pesantren terdapat komponen-komponen yang
mendukung terjadinya proses belajar mengajar antara lain yaitu: pertama, kyai
(pengasuh pesantren) bisa juga di sebut sebagai orang yang di tuakan dan di
hormati karena ilmu agamanya. Kedua, santri atau dapat kita sebut dalam zaman
sekarang yaitu siswa, santri di sini ada yang bertempat di pondok (santri
mukim), dan ada juga santri yang berasal dari tempat yang dekat dari daerah itu
atau di sebut juga santri kalong. Ketiga, pondok merupakan tempat untuk para
santri bermukim bagi yang daerah asalnya jauh dari pesantren. Keempat masjid
merupakan tempat para santri beribadah ataupun belajar tentang agama. Kelima,
kitab kitab klasik yaitu unsure mutlak dari proses belajar mengajar di dalam
dunia pesantren, biasanya kitab kuning ini berbahasa arab,jawa, melayu dan lain
lain, tidak bersakal dan identik dengan kertas yang berwarna kuning. Hal inilah
yang mungkin melatarbelakangi sebutan kitab kuning.
Lembaga yang selanjutnya adalah madrasah, pada masa dahulu dan sekarang
istilah madrasah itu berbeda. Pada masa dahulu madrasah hampir di samakan
dengan universitas berbeda dengan sekarang yang menyebut madrasah itu dalah
fenomena baru lembaga pendidikan islam. Pada masa sekarang madarasah itu
mempunyai tingkatan-tingkatan yang terorganisir yaitu: madrasah rendah
(ibtida’iyah), madrasah tingkat pertama (tsanawiyah), madrasah atas (aliyah).[25]
Daftar Pustaka
http://fossdemfoundation.blogspot.com/2012/08/sejarah-pendidikan-pondok-pesantren.html
http://faizahmazaaya.blogspot.com/2010/11/sejarah-pendidikan-pondok-pesantren.html
http://amdayhary.blogspot.com/2014/01/makalah-sejarah-pendidikan-islam.html
Niswah, Choirun. sejarah
pendidikan islam. Palembang: rafah press. 2010
Mujib, Abdul. .Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Penada Media. 2006
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana. 2010
Salahudin, Anas. Filsafat
Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. 2011
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan
Islam Dalam Perspektif Islam. Cet. K-10.Bandung: Rosda. 2010
[1] Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Suluk
Abdul Jalil Edisi ke 4, tokoh sentral yang telah meneliti bagaimana supaya
Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama
hindu – bhuda adalah syekh Lemah Abang atau yang lebih dikenal dengan Syekh
Siti Jenar yang mempunyai nama kecil San Ali, atau Abdul Jalil (santri generasi
pertama Padepokan Giri Amparan Jati) yang dalam kaca mata kita dianggap bid’ah
ajarannya, beliaulah yang menelorkan adanya sebuah konsep Pendidikan Pondok
Pesatren, , merupaka orang yang telah meneliti bagaimana supaya Islam bisa
diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama hindu – bhuda
[2] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren
Dihabisi Nalar Barat
[3] Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, Said Aqiel Siradj et al. Cet.
Bandung : Pustaka Hidayah, 1999. Hal. 13-14
[6]
http://faizahmazaaya.blogspot.com/2010/11/sejarah-pendidikan-pondok-pesantren.html
[7] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi;Esai-esai Pesastren, hlm 12.
[8]Wahjoetomo, Perguruan Tinggi
Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm 70
[10] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan
Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat Disajikan dalam
Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda NU.
Kediri 25-27 September
11Ibid
12Ibid
[14] Bisa dilihat di bukunya Agus Sunyoto, Suluk Sang
Pembaharu;Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3. Cet Ke IV
Yogyakarta: LkiS, 2004.
[15] Agus Sunyoto, Suluk Sang
Pembaharu, Ibid hal. 213
16 Geertz, Clifford. Tafsir
Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture: Selected
Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992. hal 13.
17 Abuddin
Nata, Op. Cit., hlm. 199
18 Choirun
Niswah, Op.Cit, hal. 215
[21] Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 241
[24]Ibid
[25]
http://amdayhary.blogspot.com/2014/01/makalah-sejarah-pendidikan-islam.html
No comments:
Post a Comment