Makalah Pengertian Istihsan dan Istishab


Jual Tanah Kavling Murah Sistem Syariah
100 m2 Harga dibawah 40 Juta 
Bonus 2 Bibit Pohon Durian Musangking
Include SHM Selengkapnya KLIK
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam menetapkan hukum syara` banyak terdapat perbedaan dan perselisihan, namun   sumber hukum Islam yang utama adalah Al-Qur` an dan as-sunah. Banyak sumber-sumber hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan hujjah. Para ulama, berpendapat dengan alasan yang berbeda-beda disertai dalil yang kuat. Mereka tidak sembarangan dalam menentukan suatu hukum. Dari semua perbedaan dan perselisihan agama yang memudahkan segala urusan tidak untuk mempersulitnya.

BAB II
PERMASALAHAN

Apa Pengertian Istihsan ?
Apa Dasar –dasar  Istihsan ?
Pengertian Istishab ?
Apa Macam -macam
Apa Syarat-syarat Istishab ?

Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai sarana untuk belajar bersama rekan-rekan, sebagai bahan untuk berdiskusi dan semoga kita semua mendapatkan pengetahuan yang lebih, dan semoga kita semua bisa merasakan manfaatnya.

BAB III
     PEMBAHASAN

Pengertian istihsan
Pengertian istihsan secara etimologi adalah berarti menilai sesuatu sebagai baik sedangkan menurut istilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang di kemukakan ulama, antara lain :
Menurut al-Bazdawi:
Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama. 

Menurut al-Karakhi, sebagaimana oleh al-Bukhari:
Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan tersebut dari hukum yang pertama.

Menurut Imam malik:
Menerapkan yang terkuat diantara dua dalil, atau yang menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.

Menurut Wahbah az-Zuhaili merumuskan 2 definisi yaitu,
Lebih mengunggulkan qiyas khafi jail berdasarkan alasan tertentu.
Mengecualikan hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian.

  B.     DASAR-DASAR ISTIHSAN
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW., antara lain:
1.      Dasarnya dalam Al-Quran yang artinya:
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya[1311]. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 18)
2.      Dasarnya dalam Hadis:
ﻋﻦ ﺃﻨﺲ ﺮﻀﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻘﺎﻞ ׃ ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻟﻢ ׃ ﺨﻴﺮﺪ ﻴﻨﻜﻢ ﺃﻴﺴﺮﻩ ﻮﺨﻴﺮﺍﻟﻌﺒﺎ
ﺪ ﺓ ﺍ ﻟﻔﻘﻪ٠
Artinya:
“Anas RA, berkata, “Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.” (HR. Ibnu Abdul Barr)

C . Pengertian al-Istishab

Dari segi makna etimologi, Istishhab berarti meminta kebersamaan ( thalab al-mushahabah), atau berlanjutnya kebersamaan ( istimrar ash-shuhbah). Sedangkan dari segi terminologi, terdapat beberapa definisi istishab yang dikemukakan ulama, antara lain:
Menurut asy-Syaukani:
Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya.

Menurut Ibnu al- Qayyim al- Jauziyyah (w. 715):
Mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegasikan suatu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut.

Menurut Ibnu Hazm:
Tetap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nashsh, sampai ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut.

  D.   Macam – macam al-Istishab
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab itu adala lima macam, yaitu:
1.      Istishab Hukm Al-Ibadah Al-Asliyyah
ﺍ ﺴﺘﺼﺤﺎ ﺐ ﺤﻜﻢ ﺍ ﻻ ﺒﺎ ﺤﺔ ﺍ ﻻ ﺼﻠﻴﺔ
Maksudnya: menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya, seluruh pepohonan yang ada di dalam hutan merupakan milik bersama umat manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik seseorang.

2.      Istishab yang Menurut Akal dan Syara’ Hukumnya Tetap dan Berlangsung Terus
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (691 – 751 H/ 1292 – 1350 H), ahli ushul fiqih Hanbali, menyebutnya dengan “Wasf al-tsabit li al-hukm hatta yutsbita khilafahu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan hukumitu.” Misalnya hak milik suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi kepemilikan, yaitu akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah tangan kepada orang lain.

3.      Istishab Terhadap Dalil yang Bersifat Umum Sebelum Datangnya Dalil yang Mengkhususkannya dan Istishab dengan Nash Selama Tidak Ada Dalil Nash (yang Membatalkannya)
Istishab bentuk ketiga ini, dari segi esensinya, tidak diperselisihkan para ulama ushul fiqih. Akan tetapi, dari segi penamaan, terdapat perbedaan para ulama ushul fiqih. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 267, diwajibkan menafkahkan seluruh hasil usaha manusia dan seluruh yang diperoleh melalui pengekploitasian sumber daya alam. Kalimat nafkah, seluruh hasil usaha dan seluruh hasil yang dieksploitasi dari sumber daya alam tersebut, menurut kesepakatan para ulama ushul fiqih bersifat umum, baik nafkah wajib itu berbentuk zakat, nafkah keluarga, maupun kaum kerabat. Menurut sebagian ulama ushul fiqih lainnya, seperti Imam Haramin Al-Juwaini (419-478 H/ 1028-1085 M) dan Imam Al-Syaukani (1172-1250 H/ 1759-1824 M), hal-hal seperti ini tidak dinamakan istishab, tetapi berdalil berdasarkan  kaidah bahasa, yaitu kaidah yang menyatakan “suatu dalil yang umum tetap berlaku sesuai dengan keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya.”

4.      Istishab Hukum Akal sampai Datangnya Hukum Syar’i
Maksudnya adalah umat manusia tidak dikenakna hukum-hukum syar’I sebelum datangnya syara’, seperti  tidak adanya pembebanan  hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat) orang lain (tergugat) bahwa ia berutang kepada penggugat sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila ia tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berutang pada penggugat. Istishab seperti ini pun diperselisihkan para ulama ushul fiqih.

5.      Istishab Hukum yang Ditetapkan Berdasarkan Ijma’, Tetapi Keberadaan Ijma’ Diperselisihkan
Istishab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujjahannya. Misalnya, para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apakah shalatnya harus dibatalkan untuk kemudian berwudhu atau shalat itu ia teruskan?
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang menyatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum ijma’ itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali shalatnya.

E.  Syarat-syarat Istishab
Dalam penerapan istishab, para ulama berbeda pendapat tentang syarat yang ditentukannya.
1.   Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu. Dalam masalah seorang yang hilang tak tahu rimbanya dan tak diketahui hidup dan matinya, tetap dihuukmkan hidup brdasar istishab sebelum ada keterangan tentang kematiannya.
2.    Hanafiyyah dan Malikiyyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak apa saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan. Ini berarti bahwa orang yang hilang tersebut hanya mempunyai hak terhadap hak-haknya yang sudah ada. Dalam arti tidak boleh dihilangkan dari dia, tetapi ia tidak mempunyai hak baru yang belum ada sejak ia hilang. Ini berarti pula bahwa istishab bukan merupakan dalil baru yang mentsabitkan, tetapi berpegang pada asal yang sudah tsabit dan tak ada dalil yang mengubahnya.

BAB IV
KESIMPULAN
Pada hakikatnya, istihsan dengan segala bentuk nya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara` dari yang berdasarkan suatu dalil syara` kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil yang didasarkan kepad dalil syara` yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang menjadi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara`.

Jadi, istishab tetap boleh dipakai/dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’ baik dalam lapangan ibadah , adat, muamalah, dan lain-lain yang ada hubungannya dengan kemanusiaan.
Dengan bolehnya istishab dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’ akan memberikan peluang yang sangat baik bagi para  fuqaha/mujtahid di dalam menetapkan mengeluarkan fatwa-fatwanya dengan mudah. Sebab memang agama ini mudah, tidak untuk mempersulit.


Daftar Pustaka

www.google.com
USHUL FIQH, Dr. H.abd. Rahman Dahlan, M.A

No comments:

Post a Comment